Profesi Nelayan Cilegon Makin Terpinggirkan

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (DPC HNSI) Kota Cilegon menyoroti terkait perkembangan Industri yang kian meningkat di Kota Cilegon pada setiap tahunnya berimbas kepada semakin terkikisnya profesi nelayan di Kota Cilegon.

“Lebih dari tiga tahun saya menahkodai HNSI cabang kota Cilegon dengan rona dan warna perjuanagn yang bermacam ragam nya, kota Cilegon dengan cap sebagai kota perdagangan dan jasanya, kami masyarakat nelayan di pesisir tertinggal atau ditinggal dalam pengejawantahan Motto tersebut, alih-alih kami bisa ikut merasakan manfaat pembangunan kota Cilegon, malah semakin termarginalkan dengan motto tersebut, saya tidak tahu ini salah siapa?,” ungkap ketua DPC HNSI Kota Cilegon H. Yayan Hambali di sekretariatnya, Selasa, (29/10).

Menurutnya, Masyarakat pesisir atau nelayan semakin dianggap sebelah mata, saat ini menurut H. Yayan nelayan lebih dikenal dengan kelompok pengganggu, hama di laut dan lain sebagainya, Dia  kemudian menceritakan dahulu nelayan Cilegon jika arus sedang kencang mereka bisa istirahat tidur diatas perahu nya sampai arus tenang kembali, sekarang sudah tidak bisa lagi di lakukan, kerana sudah padat nya kapal-kapal besar merapat di laut Cilegon.

“Kami takut tertabrak kapal yang besarnya sama dengan gunung Leneng yang sekarang tinggal kenangan, dengan jangkar-jangkar besar mereka yang berlabuh (engker-red) disembarangan tempat sudah pasti merusak karang-karang yang ada di bawahnya, kurang lebih 700 sampai dengan 800 kapal yang datang ke Cilegon setiap bulannya, bayangkan dalam sepuluh tahun sampai dengan saat ini sudah berapa kapal yang berlabuh,” katanya.

Dia meyakini akibat aktivitas kapal-kapal Industri yang setiap hari menurunkan jangkarnya mengakibatkan rusaknya terumbu karang yang kian hilang, ahasil berkurang nya hasil tangkapan ikan para nelayan, belum lagi ditambah limbah industri, limbah rumah tangga, limbah kapal-kapal dan sebagainya semua menuju ke laut.

“Dalam benak saya adalah bagaimana eksistensi nelayan kota Cilegon bisa tetap ada,destinasi pesisir  tetap terbuka dan dapat di akses oleh masyarakat dengan secara gratis, saya khawatir anak cucu kita kelak tidak pernah tau indah nya pesisir pantai,” paparnya.

Banyak yang tidak mengetahui betapa beratnya perjuangan nelayan kota Cilegon ini dalam kehidupan sehari-harinya, Dia juga menjelaskan mengenai tiga undang-undang berkaitan dengan profesi nelayan, misalnya, undang-undang Pemanfaatan pesisir dan pulau pulau kecil, ada undang-undang Perlindungan nelayan serta undang-undang Perikanan, tapi menurutnya apalah daya kami nelayan sebagai mayarakat kecil yang tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk meyampaikan keinginan untuk bisa hidup sejahtera seperti masyarakat nelayan di daerah lainnya yang pemerintahnya peduli terhadap Nelayan di daerahnya dengan membangaun sarana dan prasarana untuk kebutuhan nelayan,

“Kami ada tapi tidak pernah nyata, biarlah ini kan jadi renungan para pemangku kebijakan di kota Cilegon tercinta ini. Sering saya tersenyum sendiri ketika ada pihak-pihak yang tiba-tiba datang mengatakan cinta dan sayang terhadap nelayan, akan menperhatikan nelayan tapi kemana anda ketika perahu perahu nelayan hancur oleh angin baratan? kemana anda ketika di laut kami berubah berwarna merah  darah oleh karena kerak besi di buang ke laut, tiba-tiba mengambang ribuan ikan mati di permukaan? kemana anda ketika pangkalan kami akan di gusur ? Sekali lagi saya hanya bisa tersenyum,” keluhnya.

Dia menceritakan, bagaimana pihaknya membuat proposal ke industri-industri untuk minta bantuan sembako untuk para nelayan yang tiga bulan tidak bisa melaut, pasalnya, kemana pemerintah, kemana CSR (corporate social responbility) Industri yang seyogyanya hadir dan mengalir untuk masyarakat nelayan yang terkena dampak kegiatan industri dan pada setiap moment serta kesempatan nelayan perlu bantuan.

“Kita harus seperti pengengemis dalam pengajuan ke industri dan BUMN membuat proposal bantuan untuk nelayan. Tapi biarlah, mungkin mereka belum mengerti karena ada sesuatu dan lain hal yang saya tidak tahu dan saya pun tidak mau tahu, tapi ada satu hal yang ingin tetap jaga ialah menjaga pesan dan warisan nelayan-nelayan terdahulu kita untuk tetap menjaga profesi dan melestarikan budaya kearifan lokal di wilayah pesisir Kota Cilegon,” ungkapnya.

Terkait pangkalan nelayan, di Kota Cilegon hanya ada sembilan pangkalan nelayan dengan berbagai macam kisah, sebelumnya, pada Minggu pertama ia bertugas, ia mendampingi perwakilan pangkalan tanjung Leneng Ciwandan di undang KSOP I Banten yang ternyata membahas terkait pemindahan atau penggusuran pangkalan tanjung Leneng ke pangkalan paku anyer kabupaten Serang, Ia dan para nelayam Kota Cilegon menolak dengan keras dan tegas dengan segala konsekuensinya,

“Alhamdulillah atas perjuangan pangkalan tanjung Leneng masih tetap dipertahankan keberadaannya dan bisa dipakai oleh nelayan Ciwandan dan sekitar nya hingga saat ini,” pungkasnya. (jeph)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *